Profesi
sebagai seorang pendamping masyarakat adakalanya susah, namun kadang kala
sangat mudah, artinya seorang pendamping masyarakat harus selalu siap menerima
berbagai tekanan dan intervensi baik internal maupun eksternal. Berbagai
karakter masyarakat yang dijumpai dalam keseharian menjalankan tugas menjadikan posisi pendamping
sangat rentan terhadap permasalahan dalam menjalankan tugas, karena beragam dinamika
muncul di masyarakat yang diakibatkan oleh tingkat pendidikan, kehidupan sosial,
budaya dan lingkungan.
Pendamping
masyarakat dalam menjalankan tugasnya menberdayakan masyarakat selalu
dihadapkan akan permasalahan permasalahan, baik itu permasalahan individu si
pendamping, antar pelaku (tim work), pemerintah setempat, dan lainnya. Permasalahan
yang dihadapi akan diselesaikan secara berjenjang mulai di tingkat dusun, desa,
kecamatan, kabupaten, provinsi bahkan pusat. Ketika penyelesaian masalah yang
berlarut-larut akan membuat performance seorang pendamping di persimpangan, ada
yang bekerja kurang bersemangat, biasa-biasa saja dan bahkan makin bersemangat
sehingga permasalahan dapat diselesaikan secara cepat dan tepat.
Performance
seorang pendamping akan tetap bersemangat, biasa-biasa saja, tidak bersemangat atau
bahkan tidak peduli ketika mereka dalam melakukan tugasnya sebagai seorang
pendamping masyarakat tidak mengedepankan tanggung jawab moral. Menyangkut
dengan persoalan individu seorang pendamping terutama mengenai keterlambatan
gaji merupakan hal yang sangat tidak diinginkan, apalagi bagi mereka yang
lokasi tugas di daerah sulit, bagaimana mereka bergerak dari suatu desa ke desa
lainnya untuk melakukan supervisi, monitoring dan bimbingan tanpa ada biaya. Hal
inilah yang baru saja dialami para pendamping masyarakat, bayangkan hampir
empat bulan mereka tidak mendapatkan gaji, bagaimana membiayai rumah tangganya,
biaya mobilisasi ke lokasi kegiatan
sehingga tidak merugikan masyarakat.
Dalam
menghadapi itu semua seorang pendamping masyarakat sebagai manusia tentunya akan
melahirkan berbagai opini negatif terhadap pemerintah dan mengurangi komitmen
terhadap pendampingan masyarakat. Berbagai ungkapan spontan muncul diantara
mereka, ada yang menyatakan “kita sudah
seperti robot”, “kita seperti sapi perah”, kita tidak berdaya terhadap
kebijakan”, “kita demo saja”, “kita mogok kerja sampai gaji kita dibayar”,
dan lain-lain yang lahir secara spontan. Sebagai manusia ungkapan itu wajar-
wajar saja muncul spontan karena mereka sedang berada pada titik kritis kesabaran.
Kesabaran mereka seakan sirna ketika akhir Juni 2013 mengingat Minggu pertama
Juli 2013 sudah memasuki Ramadhan. Namun di lain waktu mereka berkata
“bagaimana kita menerima gaji kalau kita tidak bekerja”, “bagaimana dana yang
sudah disalurkan jika tidak ada pendampingan”, “ke mana masyarakat mau bertanya
dan belajar jika kita tidak ke lokasi tugas”, “kapan masyarakat akan berdaya”,
dan hal hal lainnya. Ungkapan itu selalu
berkecamuk di benak para pendamping masyarakat, tetapi dengan mengedepankan rasa
tangungjawab moral dalam melakukan tugas sebagai pendamping masyarakat ungkapan
spontan tidak terealisasi dalam
keseharian mereka. Tingkat kehadiran mereka di lokasi tugas tetap ada,
pengawasan tetap jalan walaupun kuantitas sedikit berkurang karena ketiadaan
biaya, semangat mereka tetap terjaga, hal ini dibuktikan dengan tetap berjalannya
tahapan-tahapan kegiatan, mis; pelelangan barang & jasa, Musyawarah Desa,
Musyawrah Antar Desa, Pelatihan, Rapat Koordinasi baik di Kecamatan maupun di
Kabupaten. Keberlangsungan itu semua tidak bisa dipungkiri karena mereka para
pendamping masyarkat bekerja dengan sungguh-sungguh untuk memberdayakan
masyarakat dengan selalu mengedepankan “Tanggungjawab Moral”.
Para
pendamping masyarakat dalam melakukan berbagai tahapan walaupun mengeluh dalam
melakukan tugas, namun mereka dengan ada semangat Rasa Tanggung Jawab Moral
dalam Pemberdayaan semua itu dapat dilalui. Salam Pemberdayaan.
Fadlun, ST
Fastekab Aceh
Tamiang
e-mail:
fadlun_este@yahoo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar