BANK Dunia menyarankan tambahan dana transfer ke desa sebagai
amanat UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa perlu didampingi fasilitator agar
penggunaannya sesuai dengan tujuan. Desentralisasi fiskal yang
dilakukan sebelumnya ternyata tidak berbanding lurus dengan perbaikan
pelayanan publik.
Hal itu disampaikan ekonom Bank Dunia Jim Brumby ketika menggelar jumpa pers Kajian Kebijakan Publik 2014 bertajuk Indonesia: Menghindari Jebakan, di Jakarta, kemarin.
''UU Desa menjadi kesempatan pemerintah pusat melakukan desentralisasi hingga ke komunitas dan administrasi di desa. Pertanyaannya bagaimana desain dan akuntabilitas untuk menggunakan uang itu?'' ujar Brumby.
Hal itu disampaikan ekonom Bank Dunia Jim Brumby ketika menggelar jumpa pers Kajian Kebijakan Publik 2014 bertajuk Indonesia: Menghindari Jebakan, di Jakarta, kemarin.
''UU Desa menjadi kesempatan pemerintah pusat melakukan desentralisasi hingga ke komunitas dan administrasi di desa. Pertanyaannya bagaimana desain dan akuntabilitas untuk menggunakan uang itu?'' ujar Brumby.
Menurut dia, mekanisme penggunaan dana itu harus diperhatikan. Dana desa yang diamanatkan UU berasal tidak hanya dari transfer APBN, tapi juga dari sebagian transfer daerah kabupaten/kota dan sebagian pajak serta retribusi kabupaten/kota. Jika dihitung, per desa bisa mendapat lebih dari Rp1 miliar per tahun.
Penekanan pentingnya fasilitasi itu disebabkan riset Bank Dunia tentang Kajian Kebijakan Publik 2014 menemukan jumlah transfer daerah yang tinggi tidak serta-merta memperbaiki layanan publik di daerah.
Layanan publik seperti kesehatan, pengelolaan sampah, pengelolaan air minum, dan sanitasi terbukti tidak lebih baik di daerah dengan transfer tinggi jika dibandingkan dengan yang transfernya rendah.
Ide fasilitator tersebut juga disampaikan Direktur Eksekutif Kemitraan, lembaga nonpemerintah yang mendorong reformasi pemerintahan, Wicaksono Sarosa.
''Kalau tidak ada fasilitator, bisa banyak kepala desa kena masalah hukum. Sekarang ini, ada 300-an pejabat daerah yang punya masalah hukum karena nggak bisa mengelola APBD,'' ujarnya.
Wicaksono berpendapat asistensi itu bisa berlangsung 1-2 tahun dari pertama kali transfer ke desa. Hal itu bisa dilakukan seperti implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri.
Menkeu sepakat
Saat ditemui terpisah, Menkeu Chatib Basri menyambut positif masukan tersebut. Pemerintah punya komitmen untuk memastikan aparat desa punya kemampuan mengelola uang dalam jumlah besar.
''Kita melihat bahwa program yang berjalan sejauh ini dan governance-nya baik, ya, PNPM. Jadi, model PNPM yang mau di-adopt untuk semua desa,'' ujar Chatib.
''PNPM itu kalau tidak salah sudah 64 ribu desa, tinggal di-extend saja,'' tuturnya. Jumlah total desa di seluruh Indonesia 78.638 buah. Menurut data Kemenkeu, lima tahun setelah desentralisasi fiskal, pemda masih kesulitan mengelola keuangan sendiri. Hal itu tergambar dari realisasi belanja triwulan I 2014 yang hanya 10,5% dari akumulasi APBD atau sebesar Rp48,54 triliun.
Data itu baru menggambarkan realisasi APBD di 324 daerah dari total 539 pemda tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Realisasi pendapatan di 324 daerah yang sama sudah 22,48%, atau Rp96,13 triliun. Selain itu, pemda lebih banyak menyimpan uang di bank ketimbang membelanjakannya. Dana pemda di perbankan di bulan ketiga tahun ini diperkirakan lebih dari Rp150 triliun.www.mediaindonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar